Setelah 3 tahun mencoba memiliki anak darisperma sendiri dan sel telur istrinya, seorang pria akhirnya menyerah karenausahanya selalu gagal. Ia pun memutuskan untuk menggunakan sperma ayahnyasendiri untuk dapat memiliki anak, yang tidak lain secara biologis anak ituadalah adiknya sendiri.
Ini adalah permintaan tidak biasa yangdiajukan oleh pasangan dari Belanda. Karena sudah berulang kali gagal mencobaterapi kesuburan, pria 30 tahun yang tidak disebutkan identitasnya itu akhirnyamenggunakan sperma ayahnya sendiri untuk bisa memiliki anak.
Bila terapi itu berhasil, struktur keluargadari pasangan ini menjadi sangat membingungkan, karena anak yang akandilahirkan secara biologis menjadi adiknya dan sang kakek menjadi ayahkandungnya.
Hal ini terungkap dari laporan kasus di jurnalHuman Reproduction. Meski tidak umum, donasi sperma, sel telur atau rahim darianggota keluarga sendiri secara teknis tidaklah ilegal dan sering terjadi.
Namun walaupun bisa menguntungkan, donasiintrafamilial membawa komplikasi tersendiri, yaitu kebingungan dengan statusorangtua sang anak. Ada berbagai pandangan mengenai masalah ini, tapikebanyakan ahli sepakat reproduksi dengan bantuan intrafamilial seharusnyatidak perlu dilarang.
"Saya tidak tahu bahwa hukum harus melarangdonasi intrafamilial. Tapi pasangan yang meminta itu harus melakukan konselingyang sangat hati-hati agar tidak terperangkap gangguan psikologis," jelasAdrienne Asch, direktur Center for Ethics di Yeshiva University, New York City,seperti dilansir Dailymail, Senin (26/3/2012).
Ada berbagai alasan pasangan berpaling kepadaanggota keluarga untuk membantu reproduksinya. Beberapa, seperti pasangan dariBelanda tersebut, menginginkan ada 'tali' genetik dengan anaknya kelak.
Sedangkan alasan lainnya untuk mengurangiwaktu dan lain yang dibutuhkan untuk prosedur ini, menurut American Society forReproductive Medicine (ASRM).
Namun tentu ada kekhawatiran dengan sistemdonasi ini. Salah satunya kekhawatiran orang yang menyumbangkan sperma atau seltelur akan ingin bertindak sebagai orangtua kepada anaknya.
"Dalam kasus pasangan dari Belanda,'kakek' mungkin merasa sulit untuk menolak memasukkan dirinya ke dalamkeluarga," ujar Arthur Caplan, ahli bioetika dari University of Pennsylvania.